2021

Buatku, 2021 benar-benar titik balik hidup yang lumayan menguras tenaga. Emosinya rollercoaster banget. Dua per tiga dari tahun 2021 dihabiskan dengan menangis, mungkin kran air matanya sedang bocor. Sepertiga sisanya isinya kejutan yang benar-benar tidak kusangka.

The Heartbreak

Tahun ini diawali dengan menangis karena patah hati urusan asmara. Lumayan juga menguras tenaga dengan setiap hari menelpon sahabat dekatku, menangis gak karuan, memaki-maki, sempat juga mendapatkan energi untuk balas dendam, tapi kemudian menangis lagi. Ah sudahlah, sungguh aku ingin lupa momen itu tapi memang terlalu banyak amarah untuk benar-benar dilupakan.

Tapi memang balas dendam terbaik adalah menjadi versi terbaik diri sendiri. Bulan berikutnya, dalam kondisi masih patah hati aku bisa melewati ujian proposal tesis. Baiklah, baru proposal namun rasanya cukup lega karena proses hingga ujian proposal ini satu tahun lebih sedikit. Setelah itu tentu saja aku menjalankan rangkaian penelitianku.

Selama kurang lebih empat minggu penuh, aku pergi seorang diri ke desa yang sebelumnya aku tidak familiar. Namanya memang terkenal dengan pariwisatanya, tapi penelitianku bukan itu. Pergi sendiri ke tempat yang asing benar-benar berat. Setiap kali menyelesaikan hari, kepalaku rasanya ingin pecah karena ku tidak mampu mengurai banyaknya informasi yang kudapatkan hari itu. Andaikan aku punya partner dalam hal ini, setidaknya ada orang yang kujadikan tempat berkeluh kesah. Desa yang seharusnya menjadi indah untuk dikenang, malah menjadi sedikit trauma untuk diriku sendiri.

Setelah menyelesaikan penelitian lapanganku, aku jatuh sakit. Tiga minggu aku di rumah dan tidak sanggup untuk ngapa-ngapain. Bukan sakit parah, mungkin leih ke tidak kuat mental. Karena setiap kali aku mengingat atau meneruskan penelitianku, yang ada aku mual hingga sampai muntah dan demam beberapa hari. Entah apa yang salah. Mungkin aku menolak mengingat memori yang tidak terlalu baik di tempat penelitian. Mungkin juga aku terlalu takut apa yang kulakukan selama penelitian kurang tepat. Entahlah.

Ketika kurasa aku sudah sanggup untuk memulai menulis penelitianku lagi, aku dikabarkan bahwa mamaku jatuh sakit. Tifus, katanya. Ternyata Covid-19 dan seluruh anggota keluarga terpapar kecuali aku. Selama 18 hari aku harus mengurus seluruh anggota keluarga, terutama mama yang kondisinya cukup parah, hingga pada awal Mei mamaku berpulang.

Rasanya ini lebih patah hati daripada patah hati di awal tahun. Selama berbulan-bulan aku berusaha mengumpulkan energiku untuk hidup normal lagi. Tapi sepertinya hingga sekarang hidupku tidak akan normal seperti sebelum mama pergi. Keluarga kami seperti kehilangan keseimbangan, oleng sana-sini. Tepat di 100 hari kepergian mama, kucing kesayangan kami mati. Patah hati lagi.

Berbulan-bulan mama pergi aku kosong sekali. Rutinitas tetap kujalankan, tapi akan selalu berakhir melamun, membayangkan kalau saja mama ada di sini. Penelitianku tentu saja tidak bisa maksimal kukerjakan. Hingga sampai tenggat waktu tiba, aku belum juga menyelesaikan studiku dan beasiswa studiku terputus. Patah hati part 87236!! Sudah tidak terhitung berapa kali aku  menangis tahun ini.

Berbagai upaya kucoba untuk mengembalikan semangatku lagi. Dari mencoba rutin berolahraga, hingga menjadi fans baru BTS. Aku mencoba beberapa bantuan professional, seperti psikolog online yang bisa bercerita lewat voice call, juga halodoc yang bisa berkonsultasi lewat chat. Tapi rasanya memang nggak bisa lega kalau hanya lewat dunia maya. Hingga saat ini aku belum melanjutkan konsultasi dengan psikiater online-ku karena kendala biaya tentu saja.

The Rising

Aku berpikir, mungkin aku terlalu sedih karena aku di rumah setiap hari. Tapi kalau aku ke Bandung, ya sedih juga karena semakin nggak ada siapa-siapa di sana. Akhirnya kuputuskan untuk mencari kerja saja. Lalu sejak bulan September aku tergabung dalam tim sebuah proyek di Jakarta. Sempat berpikir bahwa ini adalah keputusan yang kurang tepat karena aku terkesan menghindari dan menunda kewajiban penelitianku. Tapi rasanya terlalu menyiksa batin jika aku harus memaksa diri di rumah dan hanya berkutat dengan laptop, SENDIRI.

Bolak-balik Bekasi-Jakarta setiap hari cukup menguras energi yang besar. Apalagi aku masih harus mengurus beberapa urusan domestic, juga mengerjakan penelitian yang tak kunjung selesai hingga saat ini. Tapi kesibukan itu sedikit-banyak membantu agar aku tidak terlalu terlarut dalam kesedihan. Bahkan pada saat-saat tertentu, aku lupa bahwa aku pernah bersedih. Selain itu, dalam proyek ini aku juga dipertemukan dengan tim yang solid, bikin happy, banyak main tapi kerjaan selesai, juga banyak ilmunya. Tiga bulan tergabung dalam proyek ini rasanya puas banget karena banyak insight baru yang kudapat, meskipun sedih harus menyudahinya sekarang.

Selain urusan kerjaan, hubungan asmaraku juga menemui titik terang. Di akhir Oktober seorang teman yang sudah lama kukenal menyatakan ingin menikah denganku, pertengahan November beliau menemui papaku, lalu kami melakukan prosesi lamaran di pertengahan Desember.

Rasanya dua per tiga tahun kemarin aku benar-benar tidak punya harapan lagi. Tapi ternyata semesta masih berbaik hati padaku karena memberikan lebih banyak harapan dan kebahagiaan di sepertiga sisa tahun, meskipun memang hidup tanpa mama gak akan setenang dulu. Setidaknya, ada langkah-langkah kecil yang diambil yang semoga akan membaha kebahagiaan selalu untuk esok dan esok dan esok lagi.

Welcome 2022!

Published by

aisharyaumi

My attempt to unravel the hassle in my head. My personal notes and reflections about everything happens in my life; abstract things, or real phenomenon. Articles are mostly written by my emotional side. Catch me on: aisharyaumi@gmail.com // instagram: aisharyaumi

Leave a comment